MEDIA'S COLABORATION
STUDI
KASUS KOLABORASI MEDIA
MEDIA
GROUP DAN MNC TV (PARTAI NASDEM)
Politik mengubah hubungan manusia menjadi Jahat, Politik juga bisa
mengubah hubungan manusia menjadi baik.
Karena politik juga hubungan antara METRO TV dan TV ONE saling
berkompetisi membuat berita. Metro TV sering mengangkat berita tentang lumpur
Lapindo, sedangkan TV One hanya sesekali mengangkat
berita tentang lumpur tersebut, tapi terpeleset oleh lumpur itu sendiri menjadi
“lumpur sidoarjo”.
Dan yang pasti, politik juga yang membuat MNC Group dan Metro TV
berhubungan sangat mesra. Karena Bos MNC group Harry Tanoe menjalin pertemanan dalam politik dengan Bos Metro TV Surya Paloh.
Harry diangkat menjadi salah satu pimpinan partai Nasdem pada kongres
beberapa waktu lalu. Partai yang lahir dari Ormas Nasdem bentukan Surya Paloh ini berhasil menarik minatnya
untuk bergabung. Kemesraan ini terlihat dari kedua perusahaan mereka. MNC
group yang menaungi RCTI, Global TV, dan MNC TV selalu menayangkan iklan Partai
Nasdem. Sebelum Bos besarnya bergabung dengan partai Nasdem, iklan tersebut hanya ada di
Metro TV. Metro TV pun memberikan umpan balik, yakni dengan menayangkan iklan sebuah produk MNC yang berupa pembiayaan. Harry telah berapa kali nongol di Metro TV, baik itu pemberitaan
aktivitas dia di Partai Nasdem maupun sekedar nongol untuk ngucapin selamat
natal dan tahun baru.
Kita sama-sama tahu bahwa dulunya Surya Paloh adalah salah satu kader politisi partai Golkar. Sama halnya dengan
Aburizal Bakrie yang kini menjadi
musuh politiknya. Setelah momen ia tak terpilih menjadi ketua umum partai Golkar, dia pun memutuskan
keluar dan membentuk partai baru yakni Nasional Demokrat. Keberlangsungan hidup
Nasdem ini
tidak menjadi masalah bagi pendirinya, sebab Surya Paloh memiliki media sendiri yang
tentunya bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan pengaruh dan ideologinya secara
luas. Apalagi medianya itu termasuk media yang terpercaya di Indonesia.
Sebagian masyarakat Indonesia cenderung mempercayai segala informasi yang
disampaikan oleh media milik Surya Paloh. Metro TV yang dikenal dengan
kekritisannya terhadap kebijakan pemerintah semakin meyakinkan masyarakat bahwa
Metro TV Surya
Paloh “paling
benar”. Itupun masih berlaku saat di mana TV One muncul. Aburizal
Bakrie muncul dengan media TV-nya yang baru TV One yang memiliki ciri khas hampir sama yakni bersifat kritis pada segala aspek, terkecuali yang
berkaitan dengan kepentingannya sendiri.
Sejak TV One muncul dengan “face”
yang sama dengan Metro TV, masyarakat mulai terbagi fokusnya. Informasi aktual terpercaya
bukan hanya milik Metro TV, tapi juga TV One. Tentunya ini semakin membuat Surya Paloh geram dan ingin menunjukkan kalau
dia beserta partai Nasdemnya bisa mengalahkan posisi Ical (seperti dendam kesumat akibat kalah dari ical).
Karena itu, Surya Paloh bergiat keras untuk memoles sana-sini partai Nasdemnya agar bisa
menarik perhatian massa dan mendapatkan simpati. Awalnya iklan partai Nasdem hanya gencar di Metro TV saja, namun semakin ke
sini mulai merambah layar kaca media MNC Group milik Harry Tanoesodibyo. Ini tak salah karena kini Harry telah menjadi penasehat Nasdem sendiri.
Yang menjadi sorotan menarik dalam kasus ini adalah pemilihan patner
kolaborasi Media Group. Kenapa harus MNC Group???? Jika ditilik dari definisi
ekonomi politik yang diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai studi tentang hubungan sosial, khususnya hubungan
kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi, dan konsumsi termasuk di
dalamnya sumber yang terkait dengan komunikasi (Boyd Barret 1995), maka akan ditemukan secara tersirat alasan pemilihan partner
kolaborasi itu. Surya Paloh sungguh sangat jeli sekali dalam melihat peta
kekuatan media. Dia tidak hanya memikirkan aspek ekonomis dari kolaborasi dua media ini, tetapi juga
perluasan karir politik dari partai Nasdem bentukan Surya Paloh sendiri.
Melalui iklan di media, partai Nasdem gencar dicitrakan sebagai partai baru dengan
mengusung gerakan perubahan. Masyarakat tidak perlu takut dengan perubahan,
melainkan harus berani dan tertantang demi kehidupan yang lebih maju. Karena
itu, menurut saya kolaborasi antara Surya Paloh dan Harry Tanoe ini merupakan
strategi khusus dari Nasdem sendiri untuk memperluas kepakan sayapnya atau
bahkan mempersiapkan calon penguasa negeri ini. Boleh jadi Nasdem berkelit dan
menyangkal hal ini. Mana ada maling ngaku, seperti itulah kira-kira kalimat
yang cocok untuk pembelaan Nasdem saat ini.
Sesuatu yang janggal tentu tampak dari sisi Harry sendiri. Sebenarnya apa yang dicari Harry dari kolaborasi ini??? Rupert
Murdoch, News Corporation. Mungkin
nama ini menjadi celah untuk sedikit mengetahui apa yang dicari sang Harry Tanoe. Murdoch adalah raja media di dunia. Dia memiliki media terbesar di
banyak negara, seperti Australia
(tempat kelahirannya), Hongkong, Inggris, Amerika, dan kini mulai merambah China. Ternyata, Murdoch menjadi inspirator bisnis media bagi Harry Tanoe. Murdoch
merambah ke dunia politik demi memperluas bisnis medianya. Dia ingin membeli
saham media di banyak negara. Menjadi politikus sangat membantunya menguasai media. Inilah
yang hampir
sama dilakukan oleh Harry Tanoe.
Pengusaha media terkaya di Indonesia ini tertarik menjadi bagian dari partai
Nasdem karena ingin menguatkan bisnis media dan bahkan menguasai media di
negeri ini.
Hubungan yang saling menguntungkan antara Surya Paloh dengan Harry Tanoe ini kemungkinan besar menjadikan
media mereka akan terfokus pada unsur ekonomi dan politik saja. Apalagi
menjelang pemilu 2014 yang wacananya, Nasdem akan merapat ke PDIP untuk maju
menjadi calon penguasa negeri ini. Otomatis layar kaca stasiun TV Media Group dan MNC
Group akan gencar mempromosikannya.
Mungkin itu masih jauh dari faktanya, tetapi paling tidak sesuai
dengan analisis kritis terhadap paradigma pendekatan politik ekonomi pada media
yang menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna, maka dari kini media-media milik Surya Paloh dan Harry Tanoe
akan terus menyampaikan informasi-informasi positif tentang Nasdem hingga nanti
terbentuknya opini publik serta menggiring masyarakat pada pola pikir bahwa Nasdem-lah yang terbaik menjadi
salah satu penguasa negeri ini dengan semboyan gerakan perubahan. Hal ini bukan
sesuatu yang mustahil. Sebab PT Media Nusantara Citra memiliki banyak media
seperti RCTI, TPI (sekarang MNC TV), Global TV, Okezone.com, Trijaya FM, Radio Dangdut, Women Radio, Tabloid
Realita, Seputar Indonesia, dan Mom&Kiddie, serta tak lupa sindo TV yang
juga membawahi puluhan TV lokal. Ditambah lagi dari Media Group yang terdiri dari Metro TV,
Media Indonesia, dan mediaindonesia.com. Bisa dibayangkan setiap media ini secara terus
menerus akan membulatkan opini publik
tentang Nasdem.
Isi media dalam pendekatan ekonomi politik ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar media. Faktor seperti pemilik
media, modal, iklan, dan regulasi pemerintah lebih menentukan bagaimana isi media. Penentuan
di sini bisa mencakup peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan
dalam pemberitaan, atau ke arah mana kecenderungan pemberitaan itu hendak
diarahkan. Dalam pendekatan ini mekanisme produksi berita dilihat tidak ubahnya
seperti relasi ekonomi dalam struktur produksi sebuah perusahaan bisnis. Pola
dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan–kekuatan ekonomi secara dominan
menguasai perusahaan media. Dan tak bisa terelakkan lagi nantinya, gaya
pemberitaan dua grup media ini akan menjurus pada metode yang sama demi
kepentingan yang saling melengkapi (ekonomi dan politik). Lambat laun ideologi Nasdem akan tertancap di benak masyarakat akibat dicekoki terus
dengan iklan Nasdem di banyak media yang menghiasi layar kaca televisi masyarakat Indonesia. Keberpihakan
kedua grup media ini bisa diperkirakan akan melindungi kepentingan sang
politikus Surya Paloh dan sang
konglomerat media Indonesia Harry
Tanoesodibyo.
Intinya
yang dikhawatirkan dengan kolaborasi penguasa
media dengan partai politik, informasi yang lahir dari media tersebut cenderung
bias. Pembodohan publik bisa terjadi melalui media yang sudah tidak lagi
berpihak pada warga lantaran harus melindungi kepentingan politik pemilik atau
pengelolanya.
Dalam kondisi seperti ini, media sudah kehilangan
esensi dan akal sehatnya untuk melakukan kontrol sosial. Apalagi harus menjadi
pilar demokrasi. Sesuatu yang sangat naïf jika media yang dimiliki politisi
masih mengatakan bisa independen dan bebas dari intervensi pemilik. Karena itu,
sebagai konsumen informasi, kita ambil mudahnya saja. Ketika sebuah media
terafiliasi memberitakan figur atau kegiatan kelompok politiknya, maka tinggal didiskon
sebesar 99 persen oleh sang konsumen.
Begitu juga ketika yang dibombardir adalah lawan politiknya, kecuali sepanjang
yang diangkat sebatas fakta tanpa embel-embel opini.
Komentar
Posting Komentar