Sepuluh Pengganjal Kebahagiaan Anda
LET GO OF DEMAND
Apa sih, yang
sebenarnya membuat Kita marah dan kecewa? Apakah seseorang yang memotong
antrian di depan Kita? Pengemudi iseng yang memprovokasi Kita di jalanan?
Komputer yang hanya untuk di-boot saja terasa begitu lama? Handphone yang harus
berganti setiap bulan dua kali karena terus dicuri? Orang yang mengejek dan
mempermainkan Kita? Hujan sepanjang hari? Tagihan bejibun yang membuat Kita marah sampai ke ubun-ubun?
Bukan, bukan itu
semua. Apa yang membuat Kita marah dan kecewa adalah "tuntutan yang
kekanak-kanakan" dan "ekspektasi yang tidak realistis".
Saat Kita masih bayi,
apa yang perlu Kita lakukan untuk mendapatkan sesuatu, hanyalah berteriak
menangis sekencang-kencangnya. Dengan modal itu, Kita mendapatkan popok yang
baru, susu ibu atau susu sapi, atau barang sepuluh lima belas kerokan pisang
ambon untuk dinikmati.
Itulah ciri Kita saat
masih helpless dulu. Waktu itu, perilaku demanding Kita masih bisa diterima.
Tapi kini Kita telah dewasa. Kita bertanggung jawab pada hidup Kita, dan Kita tidak bisa lagi berharap bahwa dunia akan melayani Kita sebagaimana yang Kita mau. Jika Kita tetap melakukannya sekarang, itu namanya self-induced misery,
alias penderitaan yang Kita buat sendiri. Berhentilah.
Apa yang perlu Kita lakukan sebenarnya cukup mudah. Kita hanya perlu mengganti demand dan
ekspektasi, dengan preferensi.
"Aku sih nggak
nuntut suamiku bangun lebih pagi, tapi aku lebih prefer kalo dia memang bisa
melakukannya."
Kita akan lebih
mengerti, dan Kita akan menjadi orang yang penuh pengertian.
Buanglah Pola Pikir
yang Tidak Rasional
"Saya tidak akan
pernah berbahagia kecuali dunia melayani Saya seperti yang Saya mau."
Itu tidak rasional.
Apa yang bisa Kita kontrol hanyalah diri Kita sendiri.
Bersikaplah Mau
Berbahagia
Disadari atau tidak, Kita mungkin tidak ingin berbahagia. Kita bisa melepaskan apapun dari diri Kita; uang, harta, waktu, energi, dan bahkan cinta, kecuali satu; penderitaan Kita.
Bahagia haruslah
dimulai dari kemauan Kita sendiri. Kita mau bahagia atau tidak? Secara sadar Kita jelas mau berbahagia. Tapi cobalah selami kembali alam bawah sadar Kita.
Bisa jadi, Kita sendiri yang tidak mau berbahagia.
Saat Kita merasa
marah, itu penderitaan yang tidak membahagiakan. Lepaskanlah penderitaan Kita,
bukan lampiaskan. Bertanyalah pada diri sendiri, "Bener nih, mau nuker
happy sama kemarahan ini?" Perpanjanglah sumbu Kita supaya Kita bisa
membuang penderitaan.
Berhentilah
Mengasihani Diri Sendiri
Kita tidak akan
menjadi pahlawan hanya dengan menderita. Adalah lebih heroik jika Kita tetap
riang gembira di tengah penderitaan.
Berhentilah
Membesar-besarkan
Tak perlu mem-blow-up
permasalahan sampai keluar dari proporsinya. Itu akan melumpuhkan Kita.
Belajarlah obyektif dan jadikanlah itu sebagai motivasi untuk mengambil
tindakan.
LET GO OF REGRET
Kita pasti pernah
menyesali sesuatu tentu saja. Wong kita ini manusia kok. Itu, sebenarnya versi
lain dari kata-kata: "Kita tidak sempurna".
Tak perlu panik atau
terobsesi oleh penyesalan. Jadikanlah ia kekuatan positif. Anggaplah itu
sebagai wakeup call, sebuah tepukan yang membangunkan Kita dari tidur. Bukankah Kita macan?
Janganlah menunda
tindakan dengan penyesalan. Bertindaklah segera dan Kita tidak akan menyesal
lagi, sebab Kita telah melakukan sesuatu.
Tutuplah rapat-rapat
lebarnya jarak antara Kita yang ideal dan Kita yang sekarang. Nikmatilah Kita
yang sekarang dan lakukan apa yang terbaik menurut Kita. Sebab jika Kita punya
waktu untuk menyesal, maka Kita pasti punya waktu untuk melakukan sesuatu
tentang itu.
LET GO OF GREED
"Saya telah
punya semua yang saya mau, dan Saya telah menjadi apa yang Saya ingin,
kecuali..."
Ya. Itulah Kita
barangkali. Tidak SEMUA yang Kita mau akan Kita dapatkan.
Pertama, resources Kita terbatas. Kedua, nafsu Kita adalah sesuatu yang tidak akan pernah
terpuaskan. Ia seperti air laut. Makin Kita minum, makin kering rasanya
tenggorokan. Desire Kita tidak salah, melewati batasnyalah yang salah.
Sadarilah bahwa
penyebab kerakusan adalah kesenangan. Bisa memiliki memang menyenangkan. Tapi
kesenangan itu sendiri bisa menjadi candu. Kita sering lupa, bahwa kesenangan
tidak selalu sama dengan kebahagiaan. Saat Kita menemukan bahwa kesenangan
ternyata tidak sama dengan kebahagiaan, muncullah ketakutan dan kekhawatiran.
Takut dan khawatir itu, akan memicu desire Kita lebih besar lagi.
Maka, Kita akan
menemukan lingkaran yang abadi di sini: Karena desire Kita tidak pernah punya
ujung, maka fear Kita juga tak akan pernah punya muara. Berhentilah menjadi
manusia yang terpenjara!
Ya.
Tapi bagaimana????????
Fokus dan terapkanlah
prioritas. Mulailah dahulu dengan BEING. Soal HAVING, ya belakangan sajalah.
Dan untuk BEING, Anda harus DOING. Just DO your best.
LET GO OF WORRY
Kita tahu kenapa lagu
"Don't Worry - Be Happy" begitu ngetop? Karena itulah panggilan jiwa Kita.
Pahamilah perbedaan
antara "menderita" dan "khawatir". Menderita adalah pesan
tentang masalah, sementara khawatir adalah pesan tentang adanya peluang untuk
tumbuh dan berkembang. Jadi waspadalah. Apakah Kita memang menderita, atau
sebenarnya Kita hanya khawatir saja?
Jika Kita hanya
khawatir, ketahuilah bahwa sumbernya adalah ketakutan. Kita takut terhadap
sesuatu yang masih gelap, blank, dan tidak tahu apa-apa tentangnya. Atau, Kita
takut menghadapi tantangan.
Ketahuilah bahwa
setiap detik dan setiap saat, Kita adalah benih. Benih yang mestinya bisa
tumbuh menjadi besar dan hebat. Worry can't change the past, but it can ruin
the present. Berpengetahuanlah, dan bertindaklah menyambut tantangan. Seperti
seekor macan.
LET GO OF
DEFENSIVENESS
Salah itu normal,
termasuk jika itu melukai orang lain. Bukan nyuruh nih, tapi kita semua memang
pernah berbuat salah. Kita tahu kan kenapa pensil, whiteboard, dan papan tulis
itu ada penghapusnya? Karena Kita adalah manusia.
Jika Kita salah apa
yang Kita katakan?
"Aduhhh.. maaf
nih. Maaf, namanya juga manusia."
Lantas, apa yang Kita
katakan jika orang lain yang salah?
"Dasar
Bodoh!" "Stupid!" "Bloon."
Saat Kita salah, Kita
adalah manusia. Saat orang lain salah, mereka bukan manusia. Ini tidak
rasional. Maka, maafkankanlah mereka.
LET GO OF GUILT
Guilt adalah rasa
tidak nyaman saat Kita mengalami perlawanan menentang kesadaran Kita sendiri.
Guilt itu sendiri tidak terlalu berbahaya. Apa yang lebih berbahaya adalah
ketiadaan solusinya.
Feeling guilty itu
bagus. Itu sinyal lampu merah yang memperingatkan Kita agar stay on course.
Maka saat Kita feeling guilty, dengarkanlah isi hati Kita. Manakah yang Kita
pilih, short-term pleasure atau long-term gain?
Rasa bersalah yang
tidak menemukan solusi, akan membuat Kita mengalami ini:
1. Pikiran yang tidak
damai.
2. Rasa tidak percaya
dan takut pada orang lain, atau bahkan kepada Allah.
3. Sesuai angka ini, Kita akan menderita tiga kali:
Pertama, saat Kita
bertindak tidak bertanggung jawab. Kedua, saat Kita melihat orang lain
bertindak dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, saat Kita harus menanggung
konsekuensinya.
Berikut inilah yang
perlu Kita lakukan saat Kita merasa tidak bertanggung jawab.
Ingatlah bahwa
responsibility, adalah singkatan dari "response-ability". Kemampuan
untuk merespon dengan tepat. Bagaimana caranya agar bisa merespon dengan tepat? Kita bisa menggunakan rumus AAA.
1. Admit. Akui bahwa
pilihan tindakan Kita adalah salah.
2. Analyze. Analisis
perilaku Kita. Apa alasan Kita memilih yang salah? Apa konsekuensinya?
Bagaimana tidak mengulanginya? Bagaimana meluruskan pilihan yang sekarang?
3. Atonement, alias
integritas. Integritas adalah menyatunya hati, jiwa, sasaran, tindakan, dan
keimanan. Saat semuanya menyatu, Kita memasuki tahap atonement, alias
at-one-ment.
Dengan AAA, Kita bisa
memperbaiki keadaan.
LET GO OF SPITE
Kita, pasti pernah
diprovokasi. Oleh pengemudi lain di jalanan, atau oleh orang lain yang mengejek
dan melecehkan. Kita pasti pernah merasa diserang. Di kantor, di rumah, di
lapangan sepak bola, di kantin, di mana saja.
Tidak ada perlunya Kita melayani yang begituan. Sebab, dunia Kita bisa rusak seharian. Mengalah
sajalah, kecuali jika undang-undang dasar Kita yang terlanggar atau
terinjak-injak.
Kita cenderung lupa
bahwa kita lebih sering menggunakan hati untuk merasakan, ketimbang otak untuk
berpikir. Ini sepertinya benar dan wajar. Tapi berhati-hatilah karena itu tidak
logis dan tak rasional. Itu emosional.
Jika Kita merasa
perlu melayani serangan, provokasi, dan ejekan orang lain, maka itu tentu ada
sebabnya.
Pertama, rasa
keadilan Kita yang terusik. Saat Kita merasa diserang, Kita merasa perlu
membalasnya. Tapi, jika serangan itu dilakukan karena tidak sengaja, tidak
dimaksudkan untuk menyerang, kesalahpahaman, atau hanya karena mereka bodoh
saja, keadilan macam apa sih yang Kita inginkan?
Kedua, logika Kita
yang terdistorsi. Kita berasumsi bahwa jika mereka mengalami sakit seperti yang Kita rasakan, maka mereka akan meminta maaf.
Tidak. Jikapun mereka
akhirnya meminta maaf, itu bukan karena sakit yang Kita buat dengan serangan
balasan, tapi karena pikiran dan hati mereka yang sudah lurus kembali. Saling
menyakiti tidak akan menyelesaikan masalah. Ia bahkan memperuncingnya.
Ketiga, secara sadar
atau tidak Kita mencoba menghindari tanggung jawab untuk membahagiakan diri
sendiri. Sebab jika Kita memang mau bertanggung jawab untuk kebahagiaan Kita
sendiri, Kita pasti tidak akan melarikan diri.
Jika begitu,
bagaimana caranya memunculkan rasa tanggung jawab untuk kebahagiaan diri
sendiri? Awareness-lah jawabannya.
Ketahuilah bahwa rasa
sakit yang Kita derita adalah bukan karena serangan mereka, tapi karena reaksi Kita atas perilaku mereka. Mengapa mereka begitu jahat dan kejam kepada Kita?
Karena mereka sedang sakit, dan mereka merasa terancam oleh Kita.
Responlah sikap buruk
orang lain dengan kebaikan, maka Kita akan mulia dan terhormat. Cobalah selalu
untuk bersikap rendah hati tapi bukan rendah diri.
Ketahuilah bahwa
sabar itu tidak pasif. Ia tidak datang dengan sendirinya, dan ujug-ujug Kita
menjadi sabar. Sabar itu kata kerja dan bukan kata sifat. Maka sabar, adalah
disabar-sabarin.
LET GO OF ENVY
Kita juga mungkin
pernah merasa kalah. Waspadalah. Salah-salah, kekalahan bisa membuat Kita
menjadi orang yang envious, yaitu orang yang penuh dengki dan tidak bisa
menerima kekalahan. Tidak senang jika orang lain senang, dan senang jika orang
lain tidak senang.
Sikap envious, bisa
berkembang dalam tiga tahap.
Pertama, saat Kita
merasakan kekalahan. Di tingkat ini, perasaan kalah itu sebenarnya wajar.
Apalagi jika Kita bisa memberi selamat kepada pemenang, dan kemudian menjadikan
kekalahan sebagai pelajaran. Jika tidak bisa, maka di sinilah bibit envious Kita akan mulai tersemai.
Kedua, saat Kita
mulai mengembangkan perilaku mensabotase orang lain. Mulainya dari yang
kecil-kecil saja, seperti menciptakan isu dan gosip buruk, atau berharap dan
"berdoa" untuk kemalangan dan kecelakaan bagi orang lain. Kita
mungkin mengira ini tidak berbahaya.
Salah. Itu sangat
berbahaya. Mengapa? Karena harapan buruk seperti itu adalah karatnya jiwa,
persis seperti karatnya besi. Merusak, melubangi, merontokkan, dan menggerogoti
semua amal baik. Lebih dari itu, dari mana sih datangnya semua tindak
kejahatan? Ya dari doa, harapan, fitnah, dan pikiran negatif yang melenceng
seperti itu!
Ketiga, seperti sudah
disebut barusan, semuanya akan termanifestasi menjadi tindak kejahatan. Kita
akan menjadi orang yang dengki, dengan sikap dan tindakan yang keji. Kita telah
menghancurkan diri sendiri.
Jika Kita mulai
mengalami gejala penyakit ini, resepnya sederhana. Bertemanlah dengan mereka
yang menang. Kemudian, ubahlah cara berpikir Kita. Gantilah "Saya pengen
kayak gitu," menjadi "Bagaimana supaya Saya bisa seperti itu."
LET GO OF ANGER
ANGER itu cuma satu
huruf lebih pendek dari DANGER. Dan "D", adalah nilai minusn ya.
Alasan yang bagus
bagi Kita supaya tidak marah, adalah memahami bahwa kemarahan akan
menyebarluaskan kelemahan. Saat Kita marah, Kita sebenarnya berkata, "Saya
takut! Saya Terluka! Saya frustrasi!" Itu, adalah kata lain dari
"Saya lemah."
Sadarilah bahwa
orang, barang, atau situasi, akan cenderung membuat Kita selalu marah. Udah
dari sononya begitu. Kita tidak bisa dengan mudah mengontrol sesuatu di luar
diri Kita. Dan jika Kita marah, kemarahan Kita tidak akan membuat dunia
berjalan sesuai kemauan Kita. Kitalah yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Sadarilah bahwa jika Kita menghadapi orang yang marah, they're not being mean; they're just being
people. Like you. Dan seperti biasa, marah itu muncul disebabkan oleh fear.
Rasa takut akan kehilangan kontrol.
Keinginan untuk
mengontrol adalah benar. Tapi, ingin mengontrol orang lain itu salah. Yang
benar, ingin memberi contoh teladan kepada orang lain. Mengontrol dengan
kekuasaan? Salah juga. Apa yang perlu dikontrol hanyalah diri sendiri. Sekali
lagi, maafkanlah mereka yang marah. Tidak ada yang salah saat seorang manusia
bersikap dan bertindak sebagai manusia.
Kita sendiri,
kurangilah marah Kita sebab Kita sendirilah yang akan merugi. Saat Kita marah,
apa yang telah keluar sebenarnya tidak perlu keluar dan apa yang terlanjur
sebenarnya tidak perlu terlanjur.
LET GO OF FEAR
Saat Kita menghadapi
ketakutan, Kita berada di tengah-tengah persimpangan jalan. Satu cabang menuju
kepada kepengecutan, dan satu lagi menuju kepada keberanian. Yang satu menuju
harapan dan impian, yang satu lagi menuju kekecewaan dan kesedihan.
Kita tidak bisa
mundur atau tetap diam, melainkan tetap maju dan memilih salah satu cabang.
Dengan diam atau mundur, Kita tidak akan tumbuh dan berubah. Malah, Kita menuju
ke kepunahan dan kematian.
Manage-lah fear Kita,
sebab fear adalah False Evidence Appearing Real. Asli tapi sebenarnya palsu.
Jadi, tak usahlah Kita bersedih lagi. Bersenang-senang sajalah. Sibuklah. Lakukan yang terbaik. Tak
perlu takut dan tak usah khawatir. Lakukanlah segalanya dengan semangat dan
keberanian. Itu lebih baik buat Kita.
Bukannya tadi sudah
Saya bilang, kalo Anda itu macan?
("Ten Roadblocks
to Happiness and How to Overcome Them")
Komentar
Posting Komentar