Mengalir Seperti Air
Seorang pria mendatangi seorang Guru.
Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga
saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya
ingin mati." Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."
"Tidak Guru, saya tidak sakit.
Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."
Seolah-olah tidak mendengar
pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu
bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."
Banyak sekali di antara kita yang
alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan
ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti
di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita
mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat
kita sakit.
Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam
berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak
selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat
kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa
dan menderita. "Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar
bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah
betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." Pria itu menolak
tawaran sang Guru. "Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin
mati?" "Ya, memang saya sudah bosan hidup."
"Baiklah. Kalau begitu besok sore
kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol
ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam
delapan malam kau akan mati dengan tenang."
Kini, giliran pria itu menjadi bingung.
Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan
semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat
hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul
jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung
menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru
tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia
akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan
malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan
selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin
meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat
harmonis. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik, "Sayang,
aku mencintaimu."
Sekali lagi, karena malam itu adalah
malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Esoknya, sehabis bangun
tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi
menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam
kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa
membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya,
satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin
meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, "Sayang,
apa yang terjadi hari ini?
Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan
aku, sayang."
Di kantor, ia menyapa setiap orang,
bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita
kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi
lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan
manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya
berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap
pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai
menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia
menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang
istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta
maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak
ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu
tertekan karena perilaku kami."
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir
kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk
bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore
sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat
wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi,
"Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau
hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat
menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.
Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan
mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan.
Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.
Itulah jalan menuju ketenangan."
Pria itu mengucapkan terima kasih dan
menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam
sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam
kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!
Komentar
Posting Komentar