Analisis Fenomena NOAH versi Opini Quuu
Mengagumi/menyukai seseorang itu bukanlah
suatu hal yang salah. Setiap orang saat ini bebas memilih dan menentukan apapun
yang disukai sesuai dengan kebutuhannya. Ini sesuai dengan salah satu konsep
teori komunikasi massa, yakni teori uses and gratification. Teori ini
mengasumsikan bahwa khalayak/publik yang lebih aktif. Jadi khalayak tidak bisa
sepenuhnya dibombardir oleh media massa, karena di sini khalayak punya pilihan
alternatif dalam memuaskan kebutuhannya.
Dalam mengagumi seseorang ataupun
suatu hal pun, khalayak sangatlah memiliki kebebasan penuh untuk menentukannya.
Dan ketika pilihan itu didapatkan, tidak penting lagi mempertanyakan apakah
pilihan itu berbobot, bermoral, ataupun berkualitas. Karena semua pilihan itu
berdasarkan pemikiran masing-masing khalayak yang tentunya berbeda satu sama
lainnya.
Inilah yang terjadi pada
komunitas Sahabat NOAH. Tidak peduli seberapa dahsyatnya bombardir media massa
mengenai kasus-kasus negatif yang menimpa personel grup band ex-peterpan ini,
Sahabat selalu setia menunggu karya-karya grup yang satu ini. Walau cacian
sering menghampiri kehidupan mereka, namun itu bukanlah menjadi hambatan besar
dalam mempertahankan “pilihan” mereka mengenai grup band terdahsyat di negara
ini.
Mereka tentunya memiliki
kebutuhan mendengarkan musik berkualitas berlirik puitis dari grup musik yang simple, sehingga mereka
pun akhirnya menjatuhkan “pilihan” pada grup band NOAH. Jika ditilik secara
teoritisnya, kekaguman seseorang terhadap seseorang lainnya bisa diawali dengan
keterbutuhannya terhadap seseorang lain itu. Rasa membutuhkan musik dengan ciri
di atas tadi lambat laun membuat seseorang merasa bergantung dan akhirnya kagum akan
musik serta si pembuatnya juga.
Jadi, tidak etis jika suatu
komunitas pengagum seseorang dihakimi dan dipermasalahkan. Semua berhak
menentukan hal yang dikonsumsi ataupun dikaguminya sesuai dengan KEBUTUHANNYA. Dan
ini juga yang dirasakan oleh komunitas sahabat noah.
Lalu, yang musti kita tahu juga,
Noah adalah salah satu grup musik teranyar tahun 2012 ini. Para personelnya
menjadi incaran media massa untuk diberitakan pada publik. Namun para personel
ini juga adalah manusia biasa, ketika berada di rumah mereka adalah anak bagi
orang tuanya, kakak atau adik bagi saudaranya, suami bagi istrinya, pacar bagi
pasangannya, dan ayah bagi anaknya. Semua konteks ini tentunya tidak bisa kita
samakan. Ketika berada di atas panggung ataupun sedang bekerja, mereka adalah
bintang superstar yang digilai fansnya, terutama wanita. Ini adalah front stage
mereka jika ditilik dari sudut pandang teori dramaturgis. Mereka dibatasi oleh
konsep-konsep seorang bintang. Harus terlihat meyakinkan sesuai dengan peran
mereka. Namun ketika mereka sedang tidak di atas panggung ataupun bekerja,
mereka berada di back stagenya. Banyak hal yang ada di back stage ini yang
berusaha disembunyikan mereka di front stage. Jadi, kita musti bisa cermat
dalam memandang suatu masalah. Jangan pernah menjudge seseorang sebelum
mendengarkan penjelasannya. Setiap orang bisa saja bersandiwara di dalam
kehidupannya. Apa yang ditampilkan di depan belum tentu itu adalah sifat asli
mereka. Semua disesuaikan dengan konteksnya.
Ariel selama ini DIAM, bukan
berarti dia membenarkan ataupun menidakkan kasus-kasusnya. Diam juga merupakan
ciri ariel ketika berada di atas panggung. Tenang dan kalem. Tapi apakah itu
juga berlaku ketika dia tidak sedang bekerja di panggung??? Tidak ada yang
tahu. Apakah DIAM selama ini hanyalah konsep yang diberikan untuknya sebagai
seorang bintang superstar? Tidak ada yang tahu juga. Tapi yang pasti, di sini
kita tidak bisa langsung menjudge bahwa Ariel diam karena memang benar semua yang dikatakan orang tentang dirinya. Semua bisa
jadi kemungkinan. Jangan hanya kemungkinan negatif saja yang musti kita
fokuskan, tapi positif pun perlu kita dahulukan agar tentunya sang Ariel tidak
merasa dipojokkan.
Dan kita juga tidak punya hak
untuk menjudge seseorang itu A ataupun B. Ariel pun tidaklah ingin dijudge
sebagai penjahat kelamin seperti yang dihebohkan orang di luar sana. Semua manusia
pasti pernah khilaf dan mereka selalu punya kesempatan untuk merubah semuanya
dan kembali ke jalanNya. So, menjudge seseorang itu sangatlah tidak bijak. Karena
dampak dari penjulukan ini sangat dahsyat dan merugikan jika bersifat negatif. Seperti
yang dialami Ariel 2 tahun yang lalu dan masih ada terdengar sampai sekarang. Dijuluki
sebagai seorang yang maniak seks, penjahat kelamin, tidak bertanggung jawab,
dan lainnya yang negatif. Orang-orang di luar sana begitu gampang memberikan
julukan itu tanpa mempertimbangkan akibat yang bisa ditimbulkannya, terutama
bagi sang Ariel. Jika saja Ariel adalah sosok yang lemah iman dan
missinterpretasi, maka besar kemungkinannya lambat laun dia akan “membenarkan”
apa yang dijuluki orang kepadanya. Menjadikan semua julukan itu sebuah realitas
bagi penjuluknya dan bagi dia sendiri. Tentu ini akan membuat ariel menjadi
sosok yang begitu “NEGATIF”. Namun untung saja, Ariel cukup dewasa dalam
menghadapi ini semua, mentalnya sangat kuat sehingga julukan-julukan yang
diberikan publik padanya tidak menjadi kenyataan untuk dirinya. Ini membuat
teori penjulukan tidak berlaku bagi sang Ariel. And I’m happy with it.
Komentar
Posting Komentar